Sungguh tak habis pikir, kenapa anakku yang satu ini malah terpengaruh temannya ikut-ikutan memakai jilbab, bercadar pula. Bah! Padahal aku sangat benci kalau melihat dia mengenakan pakaian seperti itu.
"Ayah, aku kini sudah baligh ... sudah dewasa. Izinkan anakmu ini memakai jilbab ...," pintanya pada suatu hari.
"Tidak boleh! Sekali tidak tetap tidak! Apa ini masih kurang jelas, hah??" bentakku memotong ucapannya.
"Tapi, Yah ...."
"Sudah! Jangan banyak alasan! Ayah paling tak suka ada anak pembangkang di rumah ini, mengerti kamu??"
"Tolong dengarkan aku, Yah ...."
"Cukup!!!" bentakku lebih keras, "copot jilbabmu, atau pilih kuusir dari rumah ini!" Kali ini aku benar-benar marah, batas kesabaranku sudah habis menghadapi anak bengal ini.
"Baiklah ... aku akan melepas jilbab ini demi menuruti keinginan Ayah. Tapi beri aku satu alasan yang jelas, Yah ... kenapa Ayah melarang aku memakai jilbab?"
"Anakku," jawabku sambil menepuk bahunya, "kamu itu anak laki-laki ayah satu-satunya di keluarga ini ... harusnya kamu mengerti, jangan kecewakan ayahmu ini dengan berbusana menyerupai anak perempuan. Jadilah laki-laki sejati, Cah bagus ...."
***
Oleh : Abu Vulkanik
